Equity World | AS Keluar dari Jurang Resesi, Tahun Depan Dunia Masih Gelap?
Equity World | Nasib baik berpihak pada Amerika Serikat (AS) minggu lalu. Resesi Amerika Serikat (AS) batal. Ekonomi Negeri Paman Sam tersebut berhasil rebound pada kuartal III-2022.
Equity World | Saham Pilihan untuk Trading 31 Oktober dan Target Harganya
Dari data Departemen Perdagangan Kamis (27/10/2022) sore waktu setempat, PDB Juli ke September tumbuh 2,6%. Di kuartal I lalu PDB AS kontraksi atau minus 1,6% sementara kuartal II 0,6%.
Data terbaru ini juga mengalahkan perkiraan pasar, 2,4%. Di sisi pengeluaran, konsumsi pribadi di AS menyumbang 68% dari total PDB, terdiri dari pembelian barang 23% dan jasa 45%.
Presiden AS Joe Biden memastikan bahwa ekonomi AS memang menunjukkan pemulihan.
"Pemulihan ekonomi kami terus berlanjut," ujar Biden, dikutip AFP.
"Segalanya terlihat baik," tambahnya.
Akan tetapi, pertanyaan lain muncul. Apakah AS benar-benar selamat dari resesi?
CNBC Indonesia mencoba menelusuri beberapa indikator makro AS, salah satunya lapangan kerja. Nyatanya memang, pasar tenaga kerja AS menunjukkan kekuatannya pada September lalu, dengan perusahaan swasta menambahkan lebih banyak pekerjaan dari yang diharapkan.
Artinya tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara total. Pasar tenaga kerja yang kuat membuat kabar resesi Amerika Serikat semakin abu-abu.
Data dari Automatic Data Processing, Inc. (ADP) melaporkan ada sekitar 208.000 pekerjaan yang bertambah pada bulan lalu, naik dari Agustus lalu yang sebesar 185.000 pekerjaan. Angka ini juga lebih besar dari perkiraan pasar dalam polling Dow Jones sebesar 200.000 pekerjaan.
Dari per sektornya, keuntungan itu datang ketika industri penghasil barang melaporkan penurunan posisi 29.000, dengan manufaktur turun 13.000 dan sumber daya alam dan pertambangan kehilangan 16.000.
Namun, lonjakan besar terjadi di sektor perdagangan, transportasi, dan utilitas yang membantu mengimbangi kerugian tersebut, karena sektor ini melihat kenaikan pekerjaan sebesar 147.000.
Di lain sisi, laporan tingkat pengangguran turun menjadi 3,5% pada September dari bulan sebelumnya 3,7%. Kemudian sepanjang September, perekonomian AS menyerap 263.000 tenaga kerja, tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) secara total, dengan rata-rata kenaikan upah 5% year-on-year (yoy).
Kondisi tenaga kerja AS terkini menunjukkan bahwa peningkatan suku bunga dan pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan The Fed belum berpengaruh terhadap permintaan tenaga kerja. Dunia usaha masih berkespansi, tenaga kerja masih terserap cukup besar, dan tidak ada tanda-tanda PHK. Artinya, perekonomian AS benar-benar mengalami ekspansi.
Meskipun AS selamat, dalam catatan Kamis, Kepala Ekonom EY Gregory Daco mengatakan dia tetap mengantisipasi pertumbuhan produk domestik bruto riil sekitar 1,7% tahun ini dan diikuti oleh kontraksi 0,7% pada 2023, karena perang yang masih berlangsung di Ukraina dan kondisi keuangan yang semakin ketat menyebabkan resesi global.
Akibatnya, ekonomi akan kehilangan sekitar 2,8 juta pekerjaan tahun depan, dengan tingkat pengangguran naik menjadi 5,5% pada pertengahan tahun.
Rupanya, dikutip dari Forbes, Kepala Ekonom LPL Financial Jeffrey Roach setuju dengan EY. Dia mengatakan risiko resesi tampak lebih mungkin pada awal tahun depan karena ekonomi menyerap efek limpahan dari penurunan di banyak sektor, seperti perumahan.
Sementara itu, IMF tetap melihat ekonomi dunia akan mengalami krisis di beberapa wilayah dan perlambatan di wilayah lainnya.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan ekonomi Eropa diproyeksikanakan terpukul parah oleh krisis energi yang dipicu oleh perang Rusia di Ukraina, dengan setidaknya setengah dari 19 negara yang menggunakan euro menuju resesi.
"Cakrawala telah menjadi gelap secara signifikan selama setahun terakhir," katanya, dikutip dari Euronews.
Sementara itu, IMF memprediksi Asia-Pasifik bisa menjadi kawasan yang paling dirugikan jika sistem perdagangan global terpecah setelah ketegangan geopolitik. IMF merinci setidaknya PDB negara-negara di Asia pasifik akan terkoreksi lebih dari 3%.
Dalam penelitian IMF disebutkan koreksi bisa terjadi dari dampak sanksi Amerika Serikat (AS) kepada China jika hambatan non-tarif di bidang lain dinaikkan menjadi Perang Dingin.
"Beberapa sektor di Asia bisa terkontraksi hingga dua kali lipat dan yang akan menderita kehilangan pekerjaan bisa mencapai 7%," jelas laporan Regional Economic Outlook (REO) IMF untuk kawasan Asia Pasifik, dikutip dari CNBC Internasional, dikutip Senin (31/10/2022).
Krishna Srinivasan, Direktur Departemen Asia dan Pasifik IMF mengatakan perkembangan dari meningkatkan ketidakpastian di sektor perdagangan bisa lebih berat dan meningkat menjadi terpecahnya dunia.
"Asia berisiko kehilangan banyak karena merupakan pemain kunci dalam rantai pasokan global dan risiko ini paling besar dibandingkan negara-negara pada benua lain," jelas dia.
IMF menilai tanda-tanda fragmentasi global muncul selama perang dagang antara AS dan China pada 2018. Namun tanda-tanda yang lebih mengkhawatirkan, seperti perang Rusia-Ukraina, telah muncul. Sanksi terhadap Rusia telah menambah lebih banyak ketidakpastian seputar hubungan perdagangan. IMF menemukan bahwa ketegangan perdagangan AS-China 2018 mengurangi investasi sekitar 3,5% setelah dua tahun.
Dengan demikian, dunia dipastikan masih gelap, meskipun AS telah lolos dari resesi tahun ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar